Header Ads

Kisah Sang Imam Masjid yang Menjadi Wali Kota Banjarmasin


Setidaknya saya masih ingat, sekitar tahun 2008 lalu. Lelaki berkopiah putih lengkap dengan sarung masuk ke dalam masjid dengan menuntun dua orang anak laki-laki kecil, setelah sebelumnya memarkir sepeda motor Shogun biru keluaran sekitar tahun 2002. Sepeda motor itu seingat saya, punya ciri khas unik, ada stiker kartun Samurai X di bagian belakang bodi samping.

Lelaki ini sudah sejak lama menjadi imam masjid dan sesekali mengisi kajian di masjid itu. Tak jarang ia juga menjadi khatib sholat Jumat.

Saat itu kebetulan saya sempat bermukim di kawasan sang "imam masjid" tadi yang juga menjadi ketua RT di tempat itu. Kedatangannya saat masuk masjid memang cukup menyita perhatian, bukan karena terlalu wangi ataupun terlalu berpenampilan berlebihan. Tetapi dua anak laki-laki kecil kakak beradik (saat itu mungkin masih berusia sekitar empat/lima tahun) yang merupakan anak sang imam itu memang cukup heboh jika masuk ke dalam masjid.

Saat sang ayah menjadi imam, atau menjadi makmum sholat berjamaah, dua anak kakak beradik ini berlarian di sekitar masjid. Maklum saja, bagi anak-anak tempat yang luas tentu sangat mengasyikkan menjadi tempat bermain kejar-kejaran. 

Ramai sekali. Bahkan tak jarang sang anak menaiki bahu sang ayah saat ayahnya sedang sholat. Adegan setelah sholat jadi lebih menarik, karena kakak beradik ini langsung mendatangi ayahnya dan secara bergantian mencium tangan dan kening si ayah. Pemandangan yang cukup membuat iri, bagi mereka yang jarang berinteraksi dengan ayah sejak kecil.

Saat itu yang saya tau beliau memang rutin ke masjid, bahkan saat subuh, juga datang sholat berjamaah. Bagi saya, orang yang mampu sholat subuh berjamaah bukan orang sembarangan. 

Pertemuan Selanjutnya

Ketika saya masih menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Banjamasin, saya kembali bertemu dengan sang imam. "Oh bukankah ini imam masjid itu ya," gumam saya dalam hati. Kok bisa ada di kampus dan menjadi narasumber kajian aktivis mahasiswa?

Kebetulan saat itu saya masuk ke sebuah organisasi keislaman dan bergerak di dalam organisasi tersebut. Rupa-rupanya sang imam itu adalah seorang anggota legislatif dan mantan aktivis mahasiswa. Ia bernama Ibnu Sina. Ia merupakan alumni dari organisasi yang saya ikuti. Ia pun beberapa kali mengisi materi mengenai sosial politik maupun keislaman di kampus.

Ada hal menarik yang saya ingat dan cukup membekas di memori. Pada sebuah kesempatan sekitar tahun 2009, sebagai panitia kegiatan diskusi mahasiswa, saya diamanahi mencari narasumber. 

Kami sepakat menghubungi senior yang bisa mengisi kajian pergerakan mahasiswa, yang tidak lain adalah lelaki yang juga imam masjid itu. Ketika saya SMS beliau malah meminta dijemput. Saya langsung bingung, jemput pakai apa? Bukankah yang dijemput ini adalah anggota dewan? Masa pakai sepeda motor sih? 

Ternyata tak disangka beliau malah minta dijemput pakai sepeda motor. "Jemput saja ya," katanya.

"Pakai apa pak jemputnya? Saya pakai sepeda motor aja nih pak, gak papa ya," sahut saya.

"Iya gak papa, jemput aja di kantor ya, biar saya dibonceng pakai sepeda motor aja," ujarnya lagi.

Bingunglah saya, karena saat itu sepeda motor rasa-rasanya kurang layak menjemput anggota dewan, apalagi knalpotnya juga knalpot racing yang bunyinya bisa bikin gaduh. Takutnya jadi kurang ajar aja sih. Ya sudah lah, saya nekat saja jemput ke gedung dewan.

Akhirnya saya jemput beliau ke gedung dewan, ia mau saja saya bonceng pakai sepeda motor. Sepanjang perjalanan saya agak canggung dan berpikir, masa sih pejabat mau dibonceng ke kampus untuk ngisi kajian mahasiswa pula. Unik juga sih. 

Setelah itu saya juga akhirnya tau, ternyata beliau memang sudah terbiasa seperti itu. Bahkan ke kantor dewan saja pernah pakai angkot dan pakai sepeda saja. Pokoknya bagi saya itu adalah sesuatu yang anti mainstream baget saat itu. Jauuuuh sebelum istilah "blusukan" pencitraan banyak beredar.

12 Tahun Kemudian

Ketika membuka gadget, saya baca di media online, sebuah judul berita menarik perhatian. Judulnya: Wali Kota Banjarmasin Terima Penghargaan Wali Kota Terbaik se- Indonesia.

Saya tidak menyangka, sang imam yang 12 tahun lalu itu sekarang sudah jadi pemimpin di kota berjuluk seribu sungai. Saya jadi berpikir, ia layak mendapat amanah itu. Karena dia adalah orang yang baik. Amanah kepemimpinan tak boleh jatuh ke tangan orang yang tidak baik dan tidak kompeten. Karena suatu kaum akan dirugikan jika dipimpin mereka yang bukan "ahlinya"

Ini bukan cerita fiksi. Sang imam itu akhirnya menjadi pemimpin di kota yang memiliki penduduk terpadat di Kalsel. Beberapa kali kami sempat bertemu, setelah ia menjadi wali kota. Tak banyak yang berubah. Ia tetap rutin menjadi imam di masjid dan tetap bersepeda. Namun bedanya kini ia juga menjadi imam bagi masyarakat. Sungguh bukan amanah yang mudah. Namun saya percaya saja beliau akan mampu menjalaninya. Buktinya, ia diberi penghargaan wali kota terbaik se-Indonesia. Wallahua'lam. (*)

Sumber: tulisan menginspirasi.
foto: ayesinema

2 komentar:

close
pop up banner